CERMIN: Teror, Kekerasan, dan Erotika dari Garin Nugroho
loading...

Film horor Puisi Cinta yang Membunuh jadi karya terbaru Garin Nugroho yang bicara tentang teror dan kekerasan. Foto/Starvision Plus
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1990. Saya baru kelas 6 SD dan Garin Nugroho sudah melahirkan mahakarya pertamanya, Cinta dalam Sepotong Roti.
Saya menonton film tersebut bertahun-tahun kemudian. Ketika rasa cinta saya kepada film semakin berkobar. Saya menyaksikannya dengan mata berbinar-binar. Sungguh perfilman Indonesia akan semakin cerah dengan sineas seperti Garin.
Saya tidak pernah membayangkan film bisa begitu puitis dan pada saat bersamaan juga bisa begitu erotis. Roti, selai, dan perempuan bisa sama seksinya di tangan Garin. Sejak itu saya menjadi pengagumnya.
Saya menonton hampir semua film Garin. Termasuk Opera Jawayang masih saya anggap sebagai film terbaiknya hingga saat ini. Saya terpesona melihat keberanian Garin melakukan penjelahan dan mencari pengucapan baru. Ia tak ingin film hanya dilihat dari 1-2 bentuk, ia ingin melihat film sebagai medium yang bisa diisi apa saja, termasuk instalasi seni rupa di dalamnya.
![CERMIN: Teror, Kekerasan, dan Erotika dari Garin Nugroho]()
Foto: Starvision Plus
Puisi Cinta yang Membunuhsekali lagi menjadi wujud dari penjelahan Garin untuk terus mencari pengucapan baru. Saya mengaguminya karena itu. Saya pun demikian dan akan selalu gelisah mencari hal-hal baru untuk dituangkan dalam karya-karya saya.
Namun Garin selalu berhasil mendorongnya ke titik maksimal. Ketika ia melakukan percobaan, ia tak pernah melakukannya setengah-setengah. Garin tak pernah mencoba menjadi orang lain, membuat film seperti sutradara terkenal. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Dan hadirlah sensasi teror, kekerasan, dan erotika itu dalam karya terbarunya ini. Mungkin kita bisa mengkotakkan genre filmnya ke dalam thriller/horor tapi tentu saja hasilnya tak sesuai dengan konvensi yang sudah kita kenal bersama.
Baca Juga: CERMIN: tentang Penebusan Diri dan Kesempatan Kedua di Dapur Napi
Garin memahami pakem horor/thriller/slasher yang diwujudkannya dalam adegan pembuka yang berdarah-darah. Tak saja mengagetkan, tapi juga membuat ngilu.
Saya menonton film tersebut bertahun-tahun kemudian. Ketika rasa cinta saya kepada film semakin berkobar. Saya menyaksikannya dengan mata berbinar-binar. Sungguh perfilman Indonesia akan semakin cerah dengan sineas seperti Garin.
Saya tidak pernah membayangkan film bisa begitu puitis dan pada saat bersamaan juga bisa begitu erotis. Roti, selai, dan perempuan bisa sama seksinya di tangan Garin. Sejak itu saya menjadi pengagumnya.
Saya menonton hampir semua film Garin. Termasuk Opera Jawayang masih saya anggap sebagai film terbaiknya hingga saat ini. Saya terpesona melihat keberanian Garin melakukan penjelahan dan mencari pengucapan baru. Ia tak ingin film hanya dilihat dari 1-2 bentuk, ia ingin melihat film sebagai medium yang bisa diisi apa saja, termasuk instalasi seni rupa di dalamnya.

Foto: Starvision Plus
Puisi Cinta yang Membunuhsekali lagi menjadi wujud dari penjelahan Garin untuk terus mencari pengucapan baru. Saya mengaguminya karena itu. Saya pun demikian dan akan selalu gelisah mencari hal-hal baru untuk dituangkan dalam karya-karya saya.
Namun Garin selalu berhasil mendorongnya ke titik maksimal. Ketika ia melakukan percobaan, ia tak pernah melakukannya setengah-setengah. Garin tak pernah mencoba menjadi orang lain, membuat film seperti sutradara terkenal. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Dan hadirlah sensasi teror, kekerasan, dan erotika itu dalam karya terbarunya ini. Mungkin kita bisa mengkotakkan genre filmnya ke dalam thriller/horor tapi tentu saja hasilnya tak sesuai dengan konvensi yang sudah kita kenal bersama.
Baca Juga: CERMIN: tentang Penebusan Diri dan Kesempatan Kedua di Dapur Napi
Garin memahami pakem horor/thriller/slasher yang diwujudkannya dalam adegan pembuka yang berdarah-darah. Tak saja mengagetkan, tapi juga membuat ngilu.
Lihat Juga :