Mahasiswa Jadi Barista: Capek tapi Senang
Sabtu, 09 November 2019 - 10:00 WIB

Jadi barista di sela-sela kuliah memang berat, tapi selalu menyenangkan karena selalu belajar sekaligus bertemu orang-orang baru. Foto/deathwishcoffee.com
A
A
A
Di tengah kesibukan berkuliah, ketertarikan pada kopi membawa mereka menjadi barista. Pekerjaan yang lumayan untuk menambah uang saku.
Yono termasuk salah satu mahasiswa tersebut. Kalau pagi, dia kuliah. Setelah kuliah, dia langsung menuju tempat kerjanya di Box Koffies, dan bekerja sampai kedainya tutup.
Awalnya, Yono gak punya pengalaman sama sekali sebagai barista. Saat masuk, dia ditatar dulu selama 2,5 bulan supaya bisa meramu minuman dengan hasil yang pas dan enak.
“Tapi kalau orangnya sudah pernah kursus barista atau punya ijazah atau sertifikat sekolah kopi, proses perekrutannya lebih cepat lagi,” katanya.
Sama seperti Yono, Jodi yang jadi barista di Anomali Coffee juga mendapat training terlebih dahulu.
![Mahasiswa Jadi Barista: Capek tapi Senang]()
Foto: freepik.com
Menurut dia, jadi barista termasuk pekerjaan yang berat karena selain harus bisa bikin kopi yang enak, barista juga harus bisa memuaskan konsumen.
“Jadi barista itu gak cuma urusan ‘barang’ aja, tapi juga jasa karena dia ujung tombak dari kedai kopi,” kata Jodi yang jadi barista kalau jadwal kuliahnya lagi libur atau setelah pulang kuliah sampai kedai tutup pada malam hari.
Karena barista juga harus memuaskan konsumen, inilah yang suka bikin Yono dan Jodi stres.
“Jadi barista itu enjoy banget. Paling ngerasa beratnya kalau di kedai kopi lagi rame orderan,” kata Yono. Kalau dia sudah mulai kewalahan dan layanannya jadi kurang memuaskan, dijutekin pelanggan adalah hasilnya.
“Kalau sampai dimarahin costumer atau bos, sih, gak pernah. Paling cuma dijutekin,” curhatnya.
![Mahasiswa Jadi Barista: Capek tapi Senang]()
Foto: deathwishcoffee.com
Tapi selain dijutekin, menjadi barista buat Jodi dan Yono sangat menyenangkan. Soalnya mereka selalu bisa ketemu orang baru, kenalan dengan banyak pelanggan, termasuk ngobrol soal kopi.
Dengan beban pekerjaan seperti itu, berapa kira-kira gaji yang mereka bawa pulang? Kata Yono, semua bergantung pada jam kerja, status kerja, dan keahlian meramu kopi dari seorang barista.
Untuk mahasiswa yang bekerja paruh waktu, kata Yono mereka bisa digaji dalam kisaran Upah Minimum Regional [UMR, sekarang berganti nama menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK)].
Tapi ada juga yang sedikit di bawah UMP. Sekadar catatan, UMP DKI Jakarta tahun 2019 sebesar Rp3,9 juta.
“Kalau untuk gaji setau aku, sih, barista paling kecil 2 juta kalau di tempat saya bekerja,” kata Yono.
Sementara kata Jodi, gaji di tempatnya bekerja Rp130 ribu per hari. Karena hitungannya harian, jadi yang dibawa per bulan gak selalu sama. “Kalo gak masuk, ya, gak diitung,” jelasnya.
![Mahasiswa Jadi Barista: Capek tapi Senang]()
Foto: modernfilipina.ph
Jadi Barista Sekaligus Pemilik Kopi
Sementara itu, cerita Alfa Sebanya Samuel Pontoh sedikit berbeda. Alfa melihat peluang yang sangat besar dalam bisnis kopi. Karena itulah, setelah lulus SMK, dia langsung bikin kedai kopi yang dikasih nama Kedai Kopi Oemproek di Gintung, Ciputat.
Gak cuma jadi pemilik, dia juga turun jadi barista. Hebatnya, Alfa juga masih bisa kuliah. Pastinya, di situlah tantangannya.
“Saya buka jam 7 malam sampai jam 12 malam. Pertama turun jadi barista, beberapa kali sakit karena memang capek. Apalagi kalo kuliahnya lagi padat,” curhatnya.
Tapi untungnya, rasa lelah bisa terbayar dengan keuntungan yang didapatnya. Kalau lagi sepi, dalam sehari memang bisa apes dengan cuma mengantongi Rp100 ribu – Rp150 ribu.
Tapi kalau lagi rame, dalam sehari bisa sampai Rp700 ribu sampai Rp1 juta. Atau dalam sebulan bisa mengantongi pendapatan bersih sampai Rp5 juta. Sementara untuk gajinya sebagai barista bisa sekitar Rp3,5 juta.
“Lumayan, lah, buat bayar uang kuliah sama jajan,” kata Alfa.
GenSINDO
Kurnia Permata Sari
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
Yono termasuk salah satu mahasiswa tersebut. Kalau pagi, dia kuliah. Setelah kuliah, dia langsung menuju tempat kerjanya di Box Koffies, dan bekerja sampai kedainya tutup.
Awalnya, Yono gak punya pengalaman sama sekali sebagai barista. Saat masuk, dia ditatar dulu selama 2,5 bulan supaya bisa meramu minuman dengan hasil yang pas dan enak.
“Tapi kalau orangnya sudah pernah kursus barista atau punya ijazah atau sertifikat sekolah kopi, proses perekrutannya lebih cepat lagi,” katanya.
Sama seperti Yono, Jodi yang jadi barista di Anomali Coffee juga mendapat training terlebih dahulu.

Foto: freepik.com
Menurut dia, jadi barista termasuk pekerjaan yang berat karena selain harus bisa bikin kopi yang enak, barista juga harus bisa memuaskan konsumen.
“Jadi barista itu gak cuma urusan ‘barang’ aja, tapi juga jasa karena dia ujung tombak dari kedai kopi,” kata Jodi yang jadi barista kalau jadwal kuliahnya lagi libur atau setelah pulang kuliah sampai kedai tutup pada malam hari.
Karena barista juga harus memuaskan konsumen, inilah yang suka bikin Yono dan Jodi stres.
“Jadi barista itu enjoy banget. Paling ngerasa beratnya kalau di kedai kopi lagi rame orderan,” kata Yono. Kalau dia sudah mulai kewalahan dan layanannya jadi kurang memuaskan, dijutekin pelanggan adalah hasilnya.
“Kalau sampai dimarahin costumer atau bos, sih, gak pernah. Paling cuma dijutekin,” curhatnya.

Foto: deathwishcoffee.com
Tapi selain dijutekin, menjadi barista buat Jodi dan Yono sangat menyenangkan. Soalnya mereka selalu bisa ketemu orang baru, kenalan dengan banyak pelanggan, termasuk ngobrol soal kopi.
Dengan beban pekerjaan seperti itu, berapa kira-kira gaji yang mereka bawa pulang? Kata Yono, semua bergantung pada jam kerja, status kerja, dan keahlian meramu kopi dari seorang barista.
Untuk mahasiswa yang bekerja paruh waktu, kata Yono mereka bisa digaji dalam kisaran Upah Minimum Regional [UMR, sekarang berganti nama menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK)].
Tapi ada juga yang sedikit di bawah UMP. Sekadar catatan, UMP DKI Jakarta tahun 2019 sebesar Rp3,9 juta.
“Kalau untuk gaji setau aku, sih, barista paling kecil 2 juta kalau di tempat saya bekerja,” kata Yono.
Sementara kata Jodi, gaji di tempatnya bekerja Rp130 ribu per hari. Karena hitungannya harian, jadi yang dibawa per bulan gak selalu sama. “Kalo gak masuk, ya, gak diitung,” jelasnya.

Foto: modernfilipina.ph
Jadi Barista Sekaligus Pemilik Kopi
Sementara itu, cerita Alfa Sebanya Samuel Pontoh sedikit berbeda. Alfa melihat peluang yang sangat besar dalam bisnis kopi. Karena itulah, setelah lulus SMK, dia langsung bikin kedai kopi yang dikasih nama Kedai Kopi Oemproek di Gintung, Ciputat.
Gak cuma jadi pemilik, dia juga turun jadi barista. Hebatnya, Alfa juga masih bisa kuliah. Pastinya, di situlah tantangannya.
“Saya buka jam 7 malam sampai jam 12 malam. Pertama turun jadi barista, beberapa kali sakit karena memang capek. Apalagi kalo kuliahnya lagi padat,” curhatnya.
Tapi untungnya, rasa lelah bisa terbayar dengan keuntungan yang didapatnya. Kalau lagi sepi, dalam sehari memang bisa apes dengan cuma mengantongi Rp100 ribu – Rp150 ribu.
Tapi kalau lagi rame, dalam sehari bisa sampai Rp700 ribu sampai Rp1 juta. Atau dalam sebulan bisa mengantongi pendapatan bersih sampai Rp5 juta. Sementara untuk gajinya sebagai barista bisa sekitar Rp3,5 juta.
“Lumayan, lah, buat bayar uang kuliah sama jajan,” kata Alfa.
GenSINDO
Kurnia Permata Sari
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
(her)