CERMIN: Ditolak Google, Lahirkan Spotify
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2010. Saya gagal dua kali menjadi produser film untuk pertama kalinya, dan sosok Mark Zuckerberg 'diperkenalkan' secara luas melalui film The Social Network.
Saya merasa beruntung bisa menyaksikan garapan David Fincher itu di layar besar. Sebuah film yang menjadi salah satu mahakarya Fincher itu menceritakan tentang bagaimana Mark mencetuskan ide tentang Facebook.
Baik filmnya maupun Facebook sama-sama mengubah banyak hal. Dan film tentang para perintis teknologi masa depan memasang standar tinggi berkat The Social Network.
Jika Mark menciptakan Facebook karena ditolak cewek, maka Daniel Ek menggebu-gebu meluncurkan Spotify karena ditolak Google. Siapa yang mengira karena sebuah penolakan, dunia memiliki platform teknologi yang mengubah dunia secara revolusioner?
Foto: Netflix
Daniel Ek menjadi orang paling bertanggung jawab atas lahirnya Spotify dari sebuah negara bernama Swedia. Setelah ditolak Google, ia merasa bahwa Silicon Valley selalu bisa dikalahkan. Toh negaranya tak kekurangan talenta. Ini bukan sekadar isapan jempol karena dibuktikannya dengan menggandeng sosok-sosok paling genius yang akhirnya melahirkan Spotify yang mengubah dunia musik selamanya.
Miniseri enam episodeThe Playlistyang tayang di Netflix memperlihatkan bagaimana Daniel Ek melewati rintangan demi rintangan demi mewujudkan impiannya. Tapi Daniel mungkin sedikit lebih beruntung dari Mark. Karena sedari awal ia punya Martin Lorentzon, pengusaha bervisi tajam, yang mendukungnya.
Tapi sedari awal juga kita disadarkan bahwa uang bukan segalanya bagi sebuah impian. Kadang kala ia berhadapan dengan regulasi, kali lain ia berhadapan dengan kebiasaan lama yang susah diubah dan sering kali ia mesti beradu dengan ego dari sang pemilik mimpi.
Karena impian sering lahir dari mereka yang berusia muda dengan watak yang mencoba idealis, kompromi kadang terasa seperti mencari jarum di dalam jerami. Suatu hal yang bisa jadi mustahil.
Foto: Netflix
Namun impian akan terus mengalami benturan demi benturan hingga pada akhirnya ia terbentuk. Daniel pada akhirnya tahu itu. Bahwa yang dilakukannya adalah hal yang revolusioner dan memerlukan kapasitas diri untuk fleksibel.
Sebelumnya industri musik dikendalikan penuh oleh label rekaman, setelahnya musik 'didemokratisasi' habis-habisan oleh situs bajakan hingga akhirnya muncullah Spotify sebagai solusi. Tapi betulkah Spotify adalah solusi, terutama bagi musisi yang menggantungkan hidupnya dari musik?
Baca Juga: CERMIN: Bom Waktu dari Ponsel Kita
Dari sisi inilah The Playlistmenampakkan wajahnya yang menarik: ia memunculkan dilema demi dilema. Ia menguarkan pertentangan demi pertentangan dan para pendiri Spotify dipaksa untuk terus menerus terbentur. Dan apakah risiko terbentur terus-menerus setara dengan apa yang akan dilakukan Spotify ke depannya?
The Playlistyang diadaptasi dari buku karya duo jurnalis investigasi, Sven Carlsson dan Jonas Leijonhufvud, ini seperti membongkar dua sisi mata uang dari lahirnya teknologi serevolusioner Spotify. Di satu sisi, ia membuat musik bisa diakses dengan sangat mudah oleh masyarakat.
Di sisi lain, ia membuat musik juga terkesan nyaris tak berharga lagi karena bisa didengarkan tanpa perlu dibeli lagi. Tapi zaman memang tak bisa dikekang, karena jika bukan Spotify hampir pasti akan ada perintis serupa yang akan lahir.
Foto: Netflix
Saya ingat pengalaman sewaktu masih menjadi music director di salah satu stasiun radio di Makassar, lebih dari 20 tahun lalu. Untuk mendapatkan lagu terbaru untuk dimasukkan ke dalam tangga lagu (chart), saya harus berburu CD dan membeli beberapa CD sekaligus setiap minggu.
Harganya pun tak murah, bisa ratusan ribu rupiah dihabiskan per minggu. Kini dengan Spotify, lagu bisa diputar secara gratis dan diunduh dengan biaya langganan cuma 50 ribuan per bulan.
Baca Juga: Rekomendasi Drama dan Film Korea Terbaru yang Viral
Saya merasa beruntung bisa menyaksikan garapan David Fincher itu di layar besar. Sebuah film yang menjadi salah satu mahakarya Fincher itu menceritakan tentang bagaimana Mark mencetuskan ide tentang Facebook.
Baik filmnya maupun Facebook sama-sama mengubah banyak hal. Dan film tentang para perintis teknologi masa depan memasang standar tinggi berkat The Social Network.
Jika Mark menciptakan Facebook karena ditolak cewek, maka Daniel Ek menggebu-gebu meluncurkan Spotify karena ditolak Google. Siapa yang mengira karena sebuah penolakan, dunia memiliki platform teknologi yang mengubah dunia secara revolusioner?
Foto: Netflix
Daniel Ek menjadi orang paling bertanggung jawab atas lahirnya Spotify dari sebuah negara bernama Swedia. Setelah ditolak Google, ia merasa bahwa Silicon Valley selalu bisa dikalahkan. Toh negaranya tak kekurangan talenta. Ini bukan sekadar isapan jempol karena dibuktikannya dengan menggandeng sosok-sosok paling genius yang akhirnya melahirkan Spotify yang mengubah dunia musik selamanya.
Miniseri enam episodeThe Playlistyang tayang di Netflix memperlihatkan bagaimana Daniel Ek melewati rintangan demi rintangan demi mewujudkan impiannya. Tapi Daniel mungkin sedikit lebih beruntung dari Mark. Karena sedari awal ia punya Martin Lorentzon, pengusaha bervisi tajam, yang mendukungnya.
Tapi sedari awal juga kita disadarkan bahwa uang bukan segalanya bagi sebuah impian. Kadang kala ia berhadapan dengan regulasi, kali lain ia berhadapan dengan kebiasaan lama yang susah diubah dan sering kali ia mesti beradu dengan ego dari sang pemilik mimpi.
Karena impian sering lahir dari mereka yang berusia muda dengan watak yang mencoba idealis, kompromi kadang terasa seperti mencari jarum di dalam jerami. Suatu hal yang bisa jadi mustahil.
Foto: Netflix
Namun impian akan terus mengalami benturan demi benturan hingga pada akhirnya ia terbentuk. Daniel pada akhirnya tahu itu. Bahwa yang dilakukannya adalah hal yang revolusioner dan memerlukan kapasitas diri untuk fleksibel.
Sebelumnya industri musik dikendalikan penuh oleh label rekaman, setelahnya musik 'didemokratisasi' habis-habisan oleh situs bajakan hingga akhirnya muncullah Spotify sebagai solusi. Tapi betulkah Spotify adalah solusi, terutama bagi musisi yang menggantungkan hidupnya dari musik?
Baca Juga: CERMIN: Bom Waktu dari Ponsel Kita
Dari sisi inilah The Playlistmenampakkan wajahnya yang menarik: ia memunculkan dilema demi dilema. Ia menguarkan pertentangan demi pertentangan dan para pendiri Spotify dipaksa untuk terus menerus terbentur. Dan apakah risiko terbentur terus-menerus setara dengan apa yang akan dilakukan Spotify ke depannya?
The Playlistyang diadaptasi dari buku karya duo jurnalis investigasi, Sven Carlsson dan Jonas Leijonhufvud, ini seperti membongkar dua sisi mata uang dari lahirnya teknologi serevolusioner Spotify. Di satu sisi, ia membuat musik bisa diakses dengan sangat mudah oleh masyarakat.
Di sisi lain, ia membuat musik juga terkesan nyaris tak berharga lagi karena bisa didengarkan tanpa perlu dibeli lagi. Tapi zaman memang tak bisa dikekang, karena jika bukan Spotify hampir pasti akan ada perintis serupa yang akan lahir.
Foto: Netflix
Saya ingat pengalaman sewaktu masih menjadi music director di salah satu stasiun radio di Makassar, lebih dari 20 tahun lalu. Untuk mendapatkan lagu terbaru untuk dimasukkan ke dalam tangga lagu (chart), saya harus berburu CD dan membeli beberapa CD sekaligus setiap minggu.
Harganya pun tak murah, bisa ratusan ribu rupiah dihabiskan per minggu. Kini dengan Spotify, lagu bisa diputar secara gratis dan diunduh dengan biaya langganan cuma 50 ribuan per bulan.
Baca Juga: Rekomendasi Drama dan Film Korea Terbaru yang Viral