Hyper-Independence, Kemandirian yang Toxic tapi Jarang Disadari
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak sedikit dari kita yang sejak kecil sudah dilatih untuk hidup mandiri. Ya, sifat mandiri memang salah satu sifat positif yang dianggap keren bagi kebanyakan orang.
Orang yang mandiri biasanya dikagumi karena dapat melakukan dan menyelesaikan banyak hal sendirian. Namun, ternyata sifat mandiri tak selamanya baik. Sifat mandiri yang berlebihan atau hyper-independence justru menandakan bahwa kamu memiliki trauma yang belum sembuh. Nah, untuk lebih jelasnya, simak uraian berikut ini.
Apa Itu Hyper-Independence?
Menurut psikolog klinis Amy Marschall dalam laman Very Well Mind, seseorang dapat dikatakan hyper-independence bila individu tersebut berusaha untuk sepenuhnya mandiri dalam segala hal, bahkan saat dirinya dalam keadaan yang membutuhkan bantuan atau dukungan dari orang lain.
“Kamu sudah terbiasa melakukan hal-hal sendirian, merawat dirimu dengan berbagai cara, dan tak membutuhkan satu orang pun. Ini adalah salah satu mekanisme bertahan hidupmu. Dan sayangnya, banyak orang yang tak menyadari masalah ini,” jelas Mariel Buque, seorang psikolog dan ahli trauma antargenerasi melansir dari STYLIST.
Penyebab Hyper-Independence
Penelitian berjudul Relationship between attachment style and posttraumatic stress symptomatology among adults who report the experience of childhood abuse yang dilakukan Muller, Sicoli, dan Lemieux pada 2000 menyebutkan bahwa perilaku terlalu mandiri kemungkinan besar berasal dari peristiwa traumatis. Hal ini lantas mengajarkan orang tersebut untuk hanya memercayai dirinya sendiri. Jadi, mereka yang mandiri berlebihan percaya bila hanya dirinya sendirilah yang dapat membantunya menjalani hidup.
Foto:Tadeusz Lakota/Unsplash
Sejalan dengan itu mengutipPsychCentral, konselor profesional berlisensi Joanne Frederick berpendapat bahwa seorang hyper-independence cenderung memiliki sudut pandang “aku” dibandingkan “kita”.
Sementara menurut spesialis attachment disorders bernama Michael B. Sperling dalam jurnalnya berjudul Attachment in adults: Clinical and developmental perspectives, hyper-independence adalah salah satu sifat turunan dari avoidant attachment style (menghindari hubungan dekat yang intim dan emosional).
Dalam jurnal berjudulAffective dependence: from pathological affectivity to personality disorders: definitions, clinical contexts, neurobiological profiles and clinical treatments yang disusun oleh Perrotta G pada 2021, ada beberapa hal traumatis yang dapat menyebabkan seseorang menjadi hyper-independence, di antaranya:
1. Merasa bila dirinya tidak pantas mendapat dukungan sosial
2. Diabaikan pada masa lalu, khususnya oleh orang tua/pengasuh saat masih kanak-kanak sehingga ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Hal ini juga berlaku bila orang tua/pengasuh tidak secara konsisten hadir dalam kehidupan masa kecilnya.
3. Memiliki trust issue pada orang terdekat akibat menjadi korban kekerasan/pelecehan sehingga mereka merasa tidak aman untuk meminta bantuan.
4. Salah satu mekanisme diri mengatasi kejadian traumatis lainnya, seperti bencana alam, kecelakaan, diskriminasi, dan lain-lain sehingga mereka berusaha mendapatkan kembali kendali atas lingkungan mereka.
Ciri-ciri Hyper-Independence
Untuk mengecek apakah kamu memiliki kecenderungan hyper-independence, berikut ini ciri-cirinya.
1. Sering Memaksakan Diri dan Terlalu Bekerja Keras
Orang yang hyper-independence biasanya terlalu bekerja keras dalam karier dan akademik mereka sampai-sampai memaksakan diri. Selain itu, sibuk bekerja juga membuat mereka tak memiliki kehidupan di luar pekerjaan karena mereka memiliki alasan untuk menolak ajakan, membatalkan janji, menyendiri, atau tak menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat.
Foto:Palu Malerba/Pexels
2. Punya Kepribadian Tertutup dan Susah Meminta Tolong
Mereka yang terlalu mandiri seringkali menutup diri dan enggan membagikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada orang lain, seperti sekadar membagikan pikiran atau perasaan mereka. Mereka juga sulit meminta tolong atau mendelegasikan tugas, bahkan ketika merasa sudah tak sanggup untuk menanganinya lagi.
Biasanya, mereka tak mau mendelegasikan tugas karena merasa akan kehilangan kekuatan. Mereka pun percaya bahwa mengerjakan tugas tanpa bantuan siapa pun akan lebih efisien dibandingkan meminta tolong.
Orang yang mandiri biasanya dikagumi karena dapat melakukan dan menyelesaikan banyak hal sendirian. Namun, ternyata sifat mandiri tak selamanya baik. Sifat mandiri yang berlebihan atau hyper-independence justru menandakan bahwa kamu memiliki trauma yang belum sembuh. Nah, untuk lebih jelasnya, simak uraian berikut ini.
Apa Itu Hyper-Independence?
Menurut psikolog klinis Amy Marschall dalam laman Very Well Mind, seseorang dapat dikatakan hyper-independence bila individu tersebut berusaha untuk sepenuhnya mandiri dalam segala hal, bahkan saat dirinya dalam keadaan yang membutuhkan bantuan atau dukungan dari orang lain.
“Kamu sudah terbiasa melakukan hal-hal sendirian, merawat dirimu dengan berbagai cara, dan tak membutuhkan satu orang pun. Ini adalah salah satu mekanisme bertahan hidupmu. Dan sayangnya, banyak orang yang tak menyadari masalah ini,” jelas Mariel Buque, seorang psikolog dan ahli trauma antargenerasi melansir dari STYLIST.
Penyebab Hyper-Independence
Penelitian berjudul Relationship between attachment style and posttraumatic stress symptomatology among adults who report the experience of childhood abuse yang dilakukan Muller, Sicoli, dan Lemieux pada 2000 menyebutkan bahwa perilaku terlalu mandiri kemungkinan besar berasal dari peristiwa traumatis. Hal ini lantas mengajarkan orang tersebut untuk hanya memercayai dirinya sendiri. Jadi, mereka yang mandiri berlebihan percaya bila hanya dirinya sendirilah yang dapat membantunya menjalani hidup.
Foto:Tadeusz Lakota/Unsplash
Sejalan dengan itu mengutipPsychCentral, konselor profesional berlisensi Joanne Frederick berpendapat bahwa seorang hyper-independence cenderung memiliki sudut pandang “aku” dibandingkan “kita”.
Sementara menurut spesialis attachment disorders bernama Michael B. Sperling dalam jurnalnya berjudul Attachment in adults: Clinical and developmental perspectives, hyper-independence adalah salah satu sifat turunan dari avoidant attachment style (menghindari hubungan dekat yang intim dan emosional).
Dalam jurnal berjudulAffective dependence: from pathological affectivity to personality disorders: definitions, clinical contexts, neurobiological profiles and clinical treatments yang disusun oleh Perrotta G pada 2021, ada beberapa hal traumatis yang dapat menyebabkan seseorang menjadi hyper-independence, di antaranya:
1. Merasa bila dirinya tidak pantas mendapat dukungan sosial
2. Diabaikan pada masa lalu, khususnya oleh orang tua/pengasuh saat masih kanak-kanak sehingga ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Hal ini juga berlaku bila orang tua/pengasuh tidak secara konsisten hadir dalam kehidupan masa kecilnya.
3. Memiliki trust issue pada orang terdekat akibat menjadi korban kekerasan/pelecehan sehingga mereka merasa tidak aman untuk meminta bantuan.
4. Salah satu mekanisme diri mengatasi kejadian traumatis lainnya, seperti bencana alam, kecelakaan, diskriminasi, dan lain-lain sehingga mereka berusaha mendapatkan kembali kendali atas lingkungan mereka.
Ciri-ciri Hyper-Independence
Untuk mengecek apakah kamu memiliki kecenderungan hyper-independence, berikut ini ciri-cirinya.
1. Sering Memaksakan Diri dan Terlalu Bekerja Keras
Orang yang hyper-independence biasanya terlalu bekerja keras dalam karier dan akademik mereka sampai-sampai memaksakan diri. Selain itu, sibuk bekerja juga membuat mereka tak memiliki kehidupan di luar pekerjaan karena mereka memiliki alasan untuk menolak ajakan, membatalkan janji, menyendiri, atau tak menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat.
Foto:Palu Malerba/Pexels
2. Punya Kepribadian Tertutup dan Susah Meminta Tolong
Mereka yang terlalu mandiri seringkali menutup diri dan enggan membagikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada orang lain, seperti sekadar membagikan pikiran atau perasaan mereka. Mereka juga sulit meminta tolong atau mendelegasikan tugas, bahkan ketika merasa sudah tak sanggup untuk menanganinya lagi.
Biasanya, mereka tak mau mendelegasikan tugas karena merasa akan kehilangan kekuatan. Mereka pun percaya bahwa mengerjakan tugas tanpa bantuan siapa pun akan lebih efisien dibandingkan meminta tolong.