CERMIN: Malaikat dalam Sel itu Bernama Dodo Rozak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2013. Industri hiburan Korea mulai menyerbu dunia dan kita berkenalan dengan duo ayah-anak, Lee Yong-go dan Ye Sung.
Kedua nama ini adalah karakter utama dalam film laris yang meremukkan hati penonton, Miracle in Cell No 7. Premisnya memang membuat miris: seorang ayah dengan keterbelakangan mental dituduh tak hanya memperkosa tapi juga sekaligus membunuh seorang gadis kecil.
Meski sudah tahu premisnya tapi kita tak siap menghadapi gempuran emosi selama durasi filmnya yang membabi buta. Bayangkan ayah dengan keterbelakangan mental dan anak perempuannya yang manis, yang hidup bahagia di tengah segala keterbatasan mereka. Namun kebahagiaan itu terenggut begitu saja karena satu hal: kesalahpahaman.
Kesalahpahaman bisa diperbaiki jika ada keinginan dalam diri untuk membuat diri bisa lebih memahami. Namun yang terjadi pada sang ayah tidak seperti itu. Dengan mudah ia menjadi tertuduh atas kasus superserius yang akan mempertaruhkan nyawanya.
Miracle in Cell No 7adalah salah satu jenis film yang sangat kita sayangi dan membuat kita begitu khawatir ketika banyak pihak ingin membuat ulang film yang hampir sempurna itu. Termasuk Falcon Pictures.
Foto: Falcon Pictures
Sebagai pembuat film, selalu muncul pertanyaan dari dalam diri saya ketika berhadapan dengan soal ulang buat (remake). Kalau filmnya sudah sedemikian bagusnya, mengapa kita harus membuatnya ulang?
Indonesia baru berpengalaman membuat ulang lima film Korea dan baru satu yang sukses. Sweet 20yang digarap Ody C Harahap dari ulang buat Miss Grannybisa tampil lebih cemerlang dari film aslinya dan juga beroleh sukses komersial. Saya tidak punya keterikatan emosi dengan Miss Grannyyang menurut saya biasa-biasa saja, tapi beda cerita dengan Miracle in Cell No 7.
Hanung Bramantyo selaku sutradara menanggung beban berat itu di pundaknya. Terutama bagaimana bisa membuat penonton yang sudah menonton film aslinya tetap bisa mengikuti filmnya dengan asyik, tetap bisa terharu biru dengan premis yang miris itu, dan masih bisa lupa bahwa film ini adalah ulang buat.
Baca Juga: CERMIN: Filosofi Cinta, Persahabatan, dan Menjadi Manusia
“Kalau kita selalu baik sama orang, orang-orang juga akan baik sama kita,“ begitu selalu wejangan Dodo Rozak kepada putri semata wayangnya, Kartika. Wejangan itu selalu diulang-ulang terutama ketika Ika menjelang tidur sehingga wejangan itu masuk ke alam bawah sadarnya.
Begitulah Miracle in Cell No 7versi Indonesia memperkenalkan karakter utamanya. Dengan segala keterbatasannya, Dodo menjalankan wejangan itu dengan sepenuh hati dalam kesehariannya. Namun justru di situlah masalahnya. Pada suatu hari, kebaikan hatinya disalahpahami. Dan kita tahu cerita ini akan bergulir ke mana.
Foto: Falcon Pictures
Saya merasa punya keterikatan dengan karakter Dodo karena di dekat rumah saya juga ada sosok serupa. Yang selalu tersenyum ketika disapa orang meski ia susah payah berjalan dan berkomunikasi dengan orang lain.
Dengan segala keterbatasannya, ia tahu caranya berterima kasih ketika seseorang memberinya makanan. Pernah suatu kali saya bahkan melihat kedua tangannya bersusah payah membawa banyak makanan yang diberikan orang-orang kepadanya.
Ada saja cara orang-orang di sekitar menunjukkan perhatian kepadanya. Ketika rambutnya sudah sedikit panjang, selalu ada orang yang mencukur rambutnya hingga kembali rapi. Ketika bajunya tampak sedikit lusuh, ada saja yang memberinya baju baru.
Dodo mungkin sedikit lebih beruntung. Ia masih bisa berfungsi lebih baik, masih bisa mencari nafkah sendiri dan mengurus anaknya. Kebahagiaan sederhana itu sungguh menyenangkan hati untuk sekedar melihatnya dan menyesakkan hati ketika menyaksikannya terenggut.
Menyenangkan melihat Miracle in Cell No 7terasa begitu lokal berkat adaptasi brilian dari Alim Sudio. Beberapa kelemahan dalam film aslinya juga berhasil ditutupi di sini. Saya kira inilah esensi membuat ulang: kita begitu menyukai premis aslinya, meyakini bahwa bisa membuatnya berciri lokal yang kuat dan juga yakin bisa menutupi beberapa kelemahan dalam film aslinya.
Foto: Falcon Pictures
Miracle in Cell No 7versi Indonesia tak punya pretensi untuk lebih baik atau sekedar berbeda dari versi aslinya. Film ini dibuat ulang agar bisa diakses oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Kedua nama ini adalah karakter utama dalam film laris yang meremukkan hati penonton, Miracle in Cell No 7. Premisnya memang membuat miris: seorang ayah dengan keterbelakangan mental dituduh tak hanya memperkosa tapi juga sekaligus membunuh seorang gadis kecil.
Meski sudah tahu premisnya tapi kita tak siap menghadapi gempuran emosi selama durasi filmnya yang membabi buta. Bayangkan ayah dengan keterbelakangan mental dan anak perempuannya yang manis, yang hidup bahagia di tengah segala keterbatasan mereka. Namun kebahagiaan itu terenggut begitu saja karena satu hal: kesalahpahaman.
Kesalahpahaman bisa diperbaiki jika ada keinginan dalam diri untuk membuat diri bisa lebih memahami. Namun yang terjadi pada sang ayah tidak seperti itu. Dengan mudah ia menjadi tertuduh atas kasus superserius yang akan mempertaruhkan nyawanya.
Miracle in Cell No 7adalah salah satu jenis film yang sangat kita sayangi dan membuat kita begitu khawatir ketika banyak pihak ingin membuat ulang film yang hampir sempurna itu. Termasuk Falcon Pictures.
Foto: Falcon Pictures
Sebagai pembuat film, selalu muncul pertanyaan dari dalam diri saya ketika berhadapan dengan soal ulang buat (remake). Kalau filmnya sudah sedemikian bagusnya, mengapa kita harus membuatnya ulang?
Indonesia baru berpengalaman membuat ulang lima film Korea dan baru satu yang sukses. Sweet 20yang digarap Ody C Harahap dari ulang buat Miss Grannybisa tampil lebih cemerlang dari film aslinya dan juga beroleh sukses komersial. Saya tidak punya keterikatan emosi dengan Miss Grannyyang menurut saya biasa-biasa saja, tapi beda cerita dengan Miracle in Cell No 7.
Hanung Bramantyo selaku sutradara menanggung beban berat itu di pundaknya. Terutama bagaimana bisa membuat penonton yang sudah menonton film aslinya tetap bisa mengikuti filmnya dengan asyik, tetap bisa terharu biru dengan premis yang miris itu, dan masih bisa lupa bahwa film ini adalah ulang buat.
Baca Juga: CERMIN: Filosofi Cinta, Persahabatan, dan Menjadi Manusia
“Kalau kita selalu baik sama orang, orang-orang juga akan baik sama kita,“ begitu selalu wejangan Dodo Rozak kepada putri semata wayangnya, Kartika. Wejangan itu selalu diulang-ulang terutama ketika Ika menjelang tidur sehingga wejangan itu masuk ke alam bawah sadarnya.
Begitulah Miracle in Cell No 7versi Indonesia memperkenalkan karakter utamanya. Dengan segala keterbatasannya, Dodo menjalankan wejangan itu dengan sepenuh hati dalam kesehariannya. Namun justru di situlah masalahnya. Pada suatu hari, kebaikan hatinya disalahpahami. Dan kita tahu cerita ini akan bergulir ke mana.
Foto: Falcon Pictures
Saya merasa punya keterikatan dengan karakter Dodo karena di dekat rumah saya juga ada sosok serupa. Yang selalu tersenyum ketika disapa orang meski ia susah payah berjalan dan berkomunikasi dengan orang lain.
Dengan segala keterbatasannya, ia tahu caranya berterima kasih ketika seseorang memberinya makanan. Pernah suatu kali saya bahkan melihat kedua tangannya bersusah payah membawa banyak makanan yang diberikan orang-orang kepadanya.
Ada saja cara orang-orang di sekitar menunjukkan perhatian kepadanya. Ketika rambutnya sudah sedikit panjang, selalu ada orang yang mencukur rambutnya hingga kembali rapi. Ketika bajunya tampak sedikit lusuh, ada saja yang memberinya baju baru.
Dodo mungkin sedikit lebih beruntung. Ia masih bisa berfungsi lebih baik, masih bisa mencari nafkah sendiri dan mengurus anaknya. Kebahagiaan sederhana itu sungguh menyenangkan hati untuk sekedar melihatnya dan menyesakkan hati ketika menyaksikannya terenggut.
Menyenangkan melihat Miracle in Cell No 7terasa begitu lokal berkat adaptasi brilian dari Alim Sudio. Beberapa kelemahan dalam film aslinya juga berhasil ditutupi di sini. Saya kira inilah esensi membuat ulang: kita begitu menyukai premis aslinya, meyakini bahwa bisa membuatnya berciri lokal yang kuat dan juga yakin bisa menutupi beberapa kelemahan dalam film aslinya.
Foto: Falcon Pictures
Miracle in Cell No 7versi Indonesia tak punya pretensi untuk lebih baik atau sekedar berbeda dari versi aslinya. Film ini dibuat ulang agar bisa diakses oleh masyarakat Indonesia secara luas.