Social Climber: Pamer Kekayaan Demi Kehormatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kamus Cambridge menyebut social climber atau pendaki sosial sebagai orang yang hobi berperilaku manis ke orang yang statusnya ada di atasnya demi bisa menaikkan status sosialnya sendiri.
Sementara Julia T Wood dalam bukunya "Communication Mosaics" menyebut social climber sebagai sebuah proses usaha seseorang dalam meningkatkan statusnya di sebuah lingkungan untuk berada di posisi atas.
Kontruksi pemikiran para pendaki sosial ini terbentuk karena setiap manusia punya motif sosiogenis, seperti kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk pemenuhan diri, serta kebutuhan untuk mencari identitas.
Foto:Upswardsleader
Mencari Identitas
Social climber erat kaitannya dengan gaya hidup. Mereka cenderung memilih gaya hidup mewah agar masuk dalam golongan sosialita dan menjadi pusat perhatian. Pergaulan yang dipilih juga cenderung berada pada kelas sosial setara atau lebih tinggi. Beberapa bahkan memilih tidak terlalu sering bergaul atau tidak bergaul sama sekali dengan orang-orang yang kelas sosialnya lebih rendah menurut mereka.
Gengsi dan Pamor
Dari penelitian Dewi Permatasari, Mahasiswa IAIN Surakarta dalam skripsinya "Fenomena Social Climber di Kalangan Mahasiswa (Studi Fenomenologi Pada Mahasiswa di Surakarta) menemukan fakta bahwa para pendaki sosial rela merogoh kocek untuk pergi ke restoran yang memiliki harga lebih mahal dari lainnya, hanya untuk diunggah ke media sosial. Atau temuan lain seperti mengikuti ajang pemilihan duta tertentu cuma untuk mendapat selempang agar dianggap menginspirasi.
Mayoritas dari mereka memandang bahwa kedudukan seseorang tidak akan berubah sebelum ia mengubah gaya hidupnya. Misalnya, orang yang bergaji tinggi dipandangnya belum memiliki uang banyak kalau mereka tidak mengubah gaya hidup menjadi lebih mewah.
Foto:Instagram @mayweather
Krisis Empati
Melansir dari Psychology Today, seorang pendaki sosial biasanya adalah sosok narsistik dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Hal ini yang membuat mereka memandang bahwa gak ada yang lebih pantas diperhatikan oleh orang lain, selain dirinya sendiri. Biasanya mereka kurang berempati terhadap orang sekitar.
Tak Hanya di Dunia Nyata
Sekumpulan pendaki sosial juga gampang kita lihat di media sosial. Mereka seringkali berperilaku memamerkan barang bermerek, mem-posting foto ketika berada di restoran mewah, atau juga mengelu-elukan follback dari orang-orang yang dianggapnya terkenal.
Foto:Thomas Ulrich/Pixabay
Psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan menyebutkan, seseorang menjadi pendaki sosial biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui oleh masyarakat.
Kedudukan sosial yang dirasa menentukan posisi seseorang, menjadi motivasi bagi si pendaki sosial untuk memamerkan dan merengkuh kelas sosial tertinggi di masyarakat. Perilaku krisis empati hingga memamerkan kekayaan yang demikian, bisa berbahaya dalam kehidupan sosial.
Tito Tri Kadafi
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakata
Instagram: @tokads
Sementara Julia T Wood dalam bukunya "Communication Mosaics" menyebut social climber sebagai sebuah proses usaha seseorang dalam meningkatkan statusnya di sebuah lingkungan untuk berada di posisi atas.
Kontruksi pemikiran para pendaki sosial ini terbentuk karena setiap manusia punya motif sosiogenis, seperti kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk pemenuhan diri, serta kebutuhan untuk mencari identitas.
Foto:Upswardsleader
Mencari Identitas
Social climber erat kaitannya dengan gaya hidup. Mereka cenderung memilih gaya hidup mewah agar masuk dalam golongan sosialita dan menjadi pusat perhatian. Pergaulan yang dipilih juga cenderung berada pada kelas sosial setara atau lebih tinggi. Beberapa bahkan memilih tidak terlalu sering bergaul atau tidak bergaul sama sekali dengan orang-orang yang kelas sosialnya lebih rendah menurut mereka.
Gengsi dan Pamor
Dari penelitian Dewi Permatasari, Mahasiswa IAIN Surakarta dalam skripsinya "Fenomena Social Climber di Kalangan Mahasiswa (Studi Fenomenologi Pada Mahasiswa di Surakarta) menemukan fakta bahwa para pendaki sosial rela merogoh kocek untuk pergi ke restoran yang memiliki harga lebih mahal dari lainnya, hanya untuk diunggah ke media sosial. Atau temuan lain seperti mengikuti ajang pemilihan duta tertentu cuma untuk mendapat selempang agar dianggap menginspirasi.
Mayoritas dari mereka memandang bahwa kedudukan seseorang tidak akan berubah sebelum ia mengubah gaya hidupnya. Misalnya, orang yang bergaji tinggi dipandangnya belum memiliki uang banyak kalau mereka tidak mengubah gaya hidup menjadi lebih mewah.
Foto:Instagram @mayweather
Krisis Empati
Melansir dari Psychology Today, seorang pendaki sosial biasanya adalah sosok narsistik dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Hal ini yang membuat mereka memandang bahwa gak ada yang lebih pantas diperhatikan oleh orang lain, selain dirinya sendiri. Biasanya mereka kurang berempati terhadap orang sekitar.
Tak Hanya di Dunia Nyata
Sekumpulan pendaki sosial juga gampang kita lihat di media sosial. Mereka seringkali berperilaku memamerkan barang bermerek, mem-posting foto ketika berada di restoran mewah, atau juga mengelu-elukan follback dari orang-orang yang dianggapnya terkenal.
Foto:Thomas Ulrich/Pixabay
Psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan menyebutkan, seseorang menjadi pendaki sosial biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui oleh masyarakat.
Kedudukan sosial yang dirasa menentukan posisi seseorang, menjadi motivasi bagi si pendaki sosial untuk memamerkan dan merengkuh kelas sosial tertinggi di masyarakat. Perilaku krisis empati hingga memamerkan kekayaan yang demikian, bisa berbahaya dalam kehidupan sosial.
Tito Tri Kadafi
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakata
Instagram: @tokads
(it)