Antinatalisme: Saat Melahirkan Anak Jadi Tindakan Amoral
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beberapa hari lalu, sempat viral sebuah cuitan di Twitter tentang mahalnya biaya membesarkan anak - hingga Rp3 miliar per anak hingga ia dewasa - hingga membuat sang penulis cuitan tersebut enggan untuk mempunyai anak.
Meski tak sepenuhnya sama, ada pula istilah yang disebut dengan antinatalisme. Menurut Ken Coates dalam buku "Anti-Natalism: Rejectionist Philosophy from Buddhism to Benatar", antintalisme adalah paham yang menganggap tindakan seseorang melahirkan anak ke dunia adalah sebuah tindakan amoral. Anak kemudian akan dijadikan sapi perah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mereka menganggap anak yang dilahirkan tidak dapat bebas menentukan pilihan hidupnya karena harus bergantung pada keputusan orang tua. Lawan dari antinatalisme adalah pronatalis yang mendukung kelahiran.
Foto:Daily Sabah
Sementara dari buku "Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence" karya Julio Cabrera dan David Benatar, sesuai dengan pemikiran filsafat moral Kant, berpendapat bahwa manusia tidak boleh memiliki keturunan dan kehidupan harus berhenti di dirinya.
Pemikiran Julio ini melihat hidup penuh dengan rasa sakit fisik yang tak terhindarkan, hambatan pada moral, dan keputusasaan yang dinamakan taedium vitae. Selain itu, kondisi psikologis seperti depresi juga menjadi dasar karena anak tidak pernah dapat memilih kebaikannya sendiri.
FILSAFAT PADA ANTINATALISME
Foto: via Amazon
Pemikiran mengenai kesia-siaan hidup juga tercermin pada pemikiran-pemikiran filsuf, khususnya filsuf eksistensialisme seperti Albert Camus. Ia memandang kehidupan menjadi absurd karena manusia dan dunia yang dihidupinya tidak saling sejalan.
Hal ini sesuai dengan salah satu konsep dalam eksistensialisme, yaitu absurdisme yang memandang hidup tidak punya makna karena terdapat ketidakadilan di dalamnya.
Selain itu, filsuf Schopenhauer yang menganut aliran pesimisme juga bersuara mengenai hadirnya eksistensi. Ia berpendapat bahwa penderitaan dalam hidup lebih hakiki kehadirannya daripada kebahagiaan. Menurutnya, penderitaan tidak akan ada apabila tidak ada kehidupan.
Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?
LITERATUR MODERN ANTINATALISME
Foto: BBC
Dalam buku "Better Never to Have Been: The Harm of Coming Existence", juga ditekankan tentang anak yang “menderita” dalam hidupnya.
Para penulis setuju bahwa hidup juga penuh dengan kebahagiaan. Namun, hanya sebagian yang merasakan kebahagiaan itu.
Mereka juga membuat premis mengenai kehidupan seorang manusia, yaitu apabila seseorang lahir, itu akan mengurangi rasa sakit yang akan ditanggungnya nanti. Menurut premisnya, kehadiran rasa sakit lebih besar daripada rasa kebahagiaan.
SEORANG PRIA INDIA MENUNTUT ORANG TUANYA
Foto: Pixabay
Pada Februari 2019, seorang pria India, Raphael Samuel secara mengejutkan ingin menuntut orang tuanya. Ia berpendapat bahwa mereka telah melahirkannya tanpa persetujuan darinya.
Meski tak sepenuhnya sama, ada pula istilah yang disebut dengan antinatalisme. Menurut Ken Coates dalam buku "Anti-Natalism: Rejectionist Philosophy from Buddhism to Benatar", antintalisme adalah paham yang menganggap tindakan seseorang melahirkan anak ke dunia adalah sebuah tindakan amoral. Anak kemudian akan dijadikan sapi perah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mereka menganggap anak yang dilahirkan tidak dapat bebas menentukan pilihan hidupnya karena harus bergantung pada keputusan orang tua. Lawan dari antinatalisme adalah pronatalis yang mendukung kelahiran.
Foto:Daily Sabah
Sementara dari buku "Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence" karya Julio Cabrera dan David Benatar, sesuai dengan pemikiran filsafat moral Kant, berpendapat bahwa manusia tidak boleh memiliki keturunan dan kehidupan harus berhenti di dirinya.
Pemikiran Julio ini melihat hidup penuh dengan rasa sakit fisik yang tak terhindarkan, hambatan pada moral, dan keputusasaan yang dinamakan taedium vitae. Selain itu, kondisi psikologis seperti depresi juga menjadi dasar karena anak tidak pernah dapat memilih kebaikannya sendiri.
FILSAFAT PADA ANTINATALISME
Foto: via Amazon
Pemikiran mengenai kesia-siaan hidup juga tercermin pada pemikiran-pemikiran filsuf, khususnya filsuf eksistensialisme seperti Albert Camus. Ia memandang kehidupan menjadi absurd karena manusia dan dunia yang dihidupinya tidak saling sejalan.
Hal ini sesuai dengan salah satu konsep dalam eksistensialisme, yaitu absurdisme yang memandang hidup tidak punya makna karena terdapat ketidakadilan di dalamnya.
Selain itu, filsuf Schopenhauer yang menganut aliran pesimisme juga bersuara mengenai hadirnya eksistensi. Ia berpendapat bahwa penderitaan dalam hidup lebih hakiki kehadirannya daripada kebahagiaan. Menurutnya, penderitaan tidak akan ada apabila tidak ada kehidupan.
Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?
LITERATUR MODERN ANTINATALISME
Foto: BBC
Dalam buku "Better Never to Have Been: The Harm of Coming Existence", juga ditekankan tentang anak yang “menderita” dalam hidupnya.
Para penulis setuju bahwa hidup juga penuh dengan kebahagiaan. Namun, hanya sebagian yang merasakan kebahagiaan itu.
Mereka juga membuat premis mengenai kehidupan seorang manusia, yaitu apabila seseorang lahir, itu akan mengurangi rasa sakit yang akan ditanggungnya nanti. Menurut premisnya, kehadiran rasa sakit lebih besar daripada rasa kebahagiaan.
SEORANG PRIA INDIA MENUNTUT ORANG TUANYA
Foto: Pixabay
Pada Februari 2019, seorang pria India, Raphael Samuel secara mengejutkan ingin menuntut orang tuanya. Ia berpendapat bahwa mereka telah melahirkannya tanpa persetujuan darinya.