Pendidikan Seharusnya Tidak Individualistis dan Materialistis

Senin, 04 Mei 2020 - 21:40 WIB
loading...
Pendidikan Seharusnya Tidak Individualistis dan Materialistis
Pendidikan di Indonesia mesti mencari pola kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi tiap daerah. Foto/Dok. Okezone
A A A
JAKARTA - Banyak cara bisa dilakukan untuk merayakan Hari Pendidikan yang jatuh tiap 2 Mei, seperti yang tahun ini dilakukan Sokola Institute binaan aktivis pendidikan Butet Manurung.

Sokola Institute adalah organisasi yang punya perhatian pada pendidikan untuk komunitas adat. Organisasi ini merayakan Hari Pendidikan dengan menyelenggarakan Sokola Keliling Online bertajuk "Refleksi Pendidikan Kontekstual".

Pendidikan Seharusnya Tidak Individualistis dan Materialistis

Foto: Instagram @sokolainstitute

Acara tersebut disiarkan secara langsung melalui Instagram Live @sokolainstitute dan @butet_manurung. Pada kesempatan itu, pendiri Sokola Institute, Butet Manurung ditemani oleh sukarelawan Sokola Fadilla M. Apristawijaya yang merupakan kandidat Ph.D. di Educational Science, Oulu University, Finlandia.

Sokola Keliling Online diawali dengan pertanyaan dari Butet kepada Fadilla mengenai makna pendidikan. Perempuan yang akrab disapa Dilla itu lalu berpendapat bahwa makna pendidikan sangat luas dan beragam, bergantung pada sejarah pendidikan di tempat tersebut.

Di Indonesia, pendidikan mulai dikenal seiring dengan penyuaraannya yang dilakukan olehSoewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Pada masa itu, Ki Hajar Dewantara menyuarakan pewujudan sistem pendidikan yang berazaskan kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang merupakan antitesa dari sistem pendidikan di masa kolonial yang mengutamakan intelektualitas, individualistis, dan materialistis.

Berangkat dari hal tersebut, kita bisa mulai merefleksikan kondisi pendidikan Indonesia pada masa sekarang. Sudahkah mencapai cita-cita luhur yang dicitakan oleh sang Bapak Pendidikan?

Pendidikan Seharusnya Tidak Individualistis dan Materialistis

Ki Hajar Dewantara. Foto: Wiki Commons

Menurut Dilla, stigma yang muncul pada mayoritas masyarakat saat ini adalah bahwa belajar yang merupakan bagian dari proses pendidikan dilakukan semata agar diri sukses. Hal ini menjadikan pendidikan yang terbentuk hanya berorientasi pada masa depan dan diri sendiri, tidak untuk saat ini dan lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, pendidikan menjadi kurang implementatif. Kontekstualisasinya terhadap kehidupan yang sedang berjalan dan lingkungan sekitar juga dipertanyakan. Sekolah yang merupakan tempat untuk belajar dipenuhi dengan teori dan minim implementasi.

Menurut Dilla, seharusnya pendidikan dapat dilaksanakan secara kontekstual, tidak menyerabut peserta didik dari kehidupannya sekarang, dari lingkungan tempatnya tinggal. Di sekolah saat ini, peserta didik jauh lebih sering diminta untuk membaca buku agar dapat menyelesaikan soal secara benar ketimbang mempraktikkan apa yang mereka pelajari secara langsung di kehidupan.

Dilla juga menyoroti pemberlakuan kurikulum 2013 yang dijadikan standar pendidikan di Indonesia saat ini. Kurikulum 2013 dibuat dengan berkiblat ke PISA (Programme for International Student Assessment) yang merupakan studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Studi ini dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development).

Menurut Dilla, pemosisian PISA sebagai kiblat pembentukan kurikulum di Indonesia kurang tepat, karena PISA hanya menguji kemampuan matematika, sains, dan literasi saja. Padahal, banyak faktor lain yang tidak diukur dan seharusnya berpengaruh penting terhadap keberjalanan pendidikan di suatu negara.

Selain itu, PISA juga mendapat beberapa kritik dari tokoh-tokoh pendidikan. Salah satunya Yong Zhao, seorang profesor di School of Education, University of Kansas. Ia mengatakan bahwa PISA berhasil menciptakan ilusi kualitas pendidikan dan memasarkannya ke dunia.

Pendidikan Seharusnya Tidak Individualistis dan Materialistis


PISA 2018. Foto: factsmap.com

Dilla menyayangkan langkah pemerintah yang sangat menyoroti rangking PISA Indonesia yang rendah. Hal ini karena menurutnya pendidikan di tiap negara memang tidak untuk dibandingkan karena kondisi dari tiap negara berbeda. Dilla mengatakan bahwa kondisi pendidikan di suatu negara dipengaruhi oleh faktor demografi, geografi, dan sejarah negara tersebut.

Setiap sistem pendidikan yang berlaku di suatu negara pasti memiliki nilai positif dan negatifnya masing-masing, yang sudah pasti berbeda untuk setiap negara. Jadi membandingkan bahkan hingga mengadopsi sistem pendidikan negara lain yang berada di ranking tinggi PISA pun belum tentu baik kalau tidak mengkontekstualisasikannya dengan kondisi dan situasi di negara masing-masing.

Menurut Dilla, seharusnya setiap negara dapat berefleksi atas kekuatan dan kekurangannya masing-masing untuk berbenah dan mengusahakan perbaikan pada sistem yang dimilikinya agar dapat mewujudkan cita-cita pendidikannya.

Pendidikan Kontekstual di Indonesia
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2317 seconds (0.1#10.140)