Cuci Piring dan Masak di Rumah Harus Jadi Tugas Anak Perempuan? No Way!

Selasa, 04 Agustus 2020 - 17:00 WIB
loading...
Cuci Piring dan Masak di Rumah Harus Jadi Tugas Anak Perempuan? No Way!
Membersihkan rumah identik dengan tugas perempuan, padahal pekerjaan ini bisa dikerjakan bersama-sama. Foto/Shutterstock
A A A
JAKARTA - Pernah gak, sih, kamu merasa diperlakukan secara gak adil di rumahmu sendiri, karena kamu yang perempuan harus membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sementara kakak atau adik laki-lakimu, bahkan ayahmu, gak diharuskan begitu?

Padahal, sama halnya dengan saudara laki-lakimu, kamu juga punya pekerjaan rumah dari dosen atau guru di sekolah/kampus, atau juga mau rebahan sebentar. Tapi sebelum bisa melakukan keduanya, kamu harus mengerjakan pekerjaan rumah dulu, gak kayak mereka.

Ini adalah contoh terdekat dari ketidaksetaraan gender yang bisa terjadi di ranah terkecil, yaitu ranah domestik atau rumah tangga. Terdengar sepele memang. Tapi dari hal sekecil ini aja, implikasinya bisa luas ke berbagai aspek. ( )

Karena, kebiasaan membebankan tanggung jawab tertentu kepada satu jenis kelamin aja akibat stigma-stigma tentang gender, akan membuat kita terbebani sendiri nantinya.

Cuci Piring dan Masak di Rumah Harus Jadi Tugas Anak Perempuan? No Way!

Foto: Alamy Stock PhotoOleh karena itu, penting bagi kita, anak muda, untuk membiasakan diri melihat pekerjaan rumah tangga sebagai tanggung jawab semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.

Logikanya sebenarnya sederhana aja. Kalau hasil pekerjaan rumah tangga itu baik, seperti makanan hasil masakan, pakaian-pakaian bersih, dan rumah yang nyaman, dinikmati dan menguntungkan seluruh anggota keluarga, mestinya itu juga jadi tanggung jawab bersama.

Lagi pula, kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, menyuci piring dan pakaian, serta membersihkan rumah, adalah survival skill dasar yang harus dimiliki semua orang, laki-laki maupun perempuan.

Coba bayangin, entah kamu laki-laki atau perempuan. Suatu ketika ibumu pergi ke luar kota selama beberapa hari. Pekerja rumah tangga (PRT) yang biasanya membantu pekerjaan di rumahmu juga gak bisa datang.

Tapi, kamu gak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu pun jadi kelaparan karena gak bisa masak, atau jadi gak nyaman di rumah karena gak bisa membersihkannya.

Juga bayangkan kalau kamu merantau jauh dari rumah. Berarti kamu sedikitnya mesti punya keterampilan masak dan membersihkan kamar kamu sendiri. (Baca Juga: Mengulik Makna Bucin alias Budak Cinta dari Perspektif Sains )

Cuci Piring dan Masak di Rumah Harus Jadi Tugas Anak Perempuan? No Way!

Foto: Getty Images

Itu jangka pendeknya. Jangka panjangnya, dan yang lebih serius lagi, pemberatan tanggung jawab pekerjaan rumah tangga ke pihak perempuan ikut menyumbang sistem pembagian upah yang gak adil di berbagai industri dan pekerjaan.

Erling Barth, Sari Pekkala Kerr, dan Claudia Olivetti dari National Bureau of Economic Research, Amerika Serikat, dalam penelitian mereka yang berjudul "The Dynamics of Gender Earnings Differentials: Evidence From Establishment Data" (2019) mengungkapkan bahwa pembagian pekerjaan rumah tangga yang ditetapkan secara gak adil (membebani perempuan semata) merupakan penyumbang besar terhadap lahirnya kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.

Salah satunya disebabkan karena perempuan selalu menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga ketimbang laki-laki. Apalagi pas udah menikah dan punya anak. Hal tersebut pada akhirnya juga akan membatasi pilihan karier perempuan.

Hal lain yang juga berperan adalah stigma dan miskonsepsi tentang maskulinitas di masyarakat. Laki-laki disebut maskulin kalau dia bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketangkasan maupun gerak fisik yang banyak, seperti kerja kasar, atau reparasi.

Cuci Piring dan Masak di Rumah Harus Jadi Tugas Anak Perempuan? No Way!

Foto: Freepik

Sebaliknya, laki-laki gak dianggap maskulin kalau dia melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan perempuan, seperti memasak, membersihkan rumah, bahkan merawat anak.

Padahal “maskulin” atau “gak maskulin” bukan sebatas ditentukan oleh kuat atau gak-nya fisik seseorang untuk mengerjakan pekerjaan kasar. Tapi juga gimana dia bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesamanya, terlebih keluarganya sendiri.

Kalau berguna itu berarti mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka lakukanlah itu. Nilai-nilai maskulinitas yang toxic seperti ini menjebak banyak orang dalam narasi-narasi yang gak masuk akal.

Sebagai anak muda, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghapuskan kebiasaan menuruti ketidaksetaraan gender ini.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1840 seconds (0.1#10.140)