CERMIN: Barbie dan Hasrat Perempuan Menjadi Sempurna
loading...

200 Pounds Beauty menampilkan Syifa Hadju sebagai perempuan bersuara merdu tapi tak beruntung karena tubuhnya gemuk. Foto/Prime Video
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1959. Boneka Barbie pertama kali dipamerkan di American Toy Fair di New York. Lalu 34 tahun setelahnya pada 1993, boneka Barbie terjual lebih dari 1 miliar di seluruh dunia dan menjadi ikon.
Kehadiran Barbie yang digambarkan dengan serangkaian profesi mulai dari pramugari, dokter, pilot, atlit Olimpiade hingga kandidat Presiden Amerika Serikat dianggap berperan memberi alternatif peran gender tradisional bagi perempuan pada akhir 1950-an. Sayangnya memang tampilan visual Barbie bisa dengan mudah disalahartikan sebagai hasrat perempuan untuk tampil sempurna dengan kulit bersinar, rambut lebat dan panjang dengan tubuh ramping bak model.
Puluhan tahun setelah boneka Barbie terjual 1 miliar, perempuan masih tak luput dari stigma untuk menjadi cantik dan langsing betapapun besar talenta dan kemampuan yang dimilikinya. Itulah yang menjadi tema utama dari film ulang buat dari Korea berjudul 200 Pounds Beautyyang tayang di Prime Video.
Juwita jelas bukan Barbie, setidaknya meski masih berkulit cemerlang tapi ia digambarkan bertubuh super gemuk dan dengan wajah yang biasa-biasa saja. Padahal ia punya suara yang meski tak sehebat Mariah Carey tapi tetap sungguh enak didengar dan penghayatan luar biasa meski belum semeyakinkan Celine Dion.
![CERMIN: Barbie dan Hasrat Perempuan Menjadi Sempurna]()
Foto: Prime Video
Tapi di semesta cerita ini, karena kekurangan fisiknya, Juwita hanya bisa menjadi pemain di pinggir lapangan. Suaranya dipinjam oleh seorang penyanyi bernama menggelikan, Eva Primadonna. Berbeda 180 derajat dengan Juwita, Eva justru digambarkan nyaris seperti boneka Barbie tanpa jiwa.
Tapi Juwita tak ingin menjadi Juwita selamanya. Juwita yang selalu diremehkan, Juwita yang selalu tak terlihat, Juwita yang selalu tak bisa menggapai kesempatan yang bisa dicapai oleh mereka dengan penampilan fisik yang menarik. Juwita ingin berubah. Literal. Maka Juwita menemui dokter bedah plastik dan melakukan transformasi besar-besaran.
Juwita lantas berubah menjadi Angel. Kini ia menjelma sebagai seorang gadis cantik dan ramping. Menjadi mirip dengan boneka Barbie yang selalu digenggam ayahnya. Awalnya segala kemudahan diperolehnya hanya karena satu hal: kecantikannya. Tapi lama kelamaan ia kembali menyadari bahwa ia sesungguhnya tetap seorang Juwita yang memahami bahwa hidup tak selalu berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Tak serta merta dengan segala perubahan yang menyertainya maka semesta akan mengitari dirinya.
Premis menarik ini sesungguhnya punya potensi untuk dieksplorasi lebih jauh, melebihi dari versi aslinya yang dirilis pada 2006. Sayangnya memang skenario yang ditulis Upi seperti membatasi diri untuk berusaha terlalu setia dengan materi aslinya.
Kehadiran Barbie yang digambarkan dengan serangkaian profesi mulai dari pramugari, dokter, pilot, atlit Olimpiade hingga kandidat Presiden Amerika Serikat dianggap berperan memberi alternatif peran gender tradisional bagi perempuan pada akhir 1950-an. Sayangnya memang tampilan visual Barbie bisa dengan mudah disalahartikan sebagai hasrat perempuan untuk tampil sempurna dengan kulit bersinar, rambut lebat dan panjang dengan tubuh ramping bak model.
Puluhan tahun setelah boneka Barbie terjual 1 miliar, perempuan masih tak luput dari stigma untuk menjadi cantik dan langsing betapapun besar talenta dan kemampuan yang dimilikinya. Itulah yang menjadi tema utama dari film ulang buat dari Korea berjudul 200 Pounds Beautyyang tayang di Prime Video.
Juwita jelas bukan Barbie, setidaknya meski masih berkulit cemerlang tapi ia digambarkan bertubuh super gemuk dan dengan wajah yang biasa-biasa saja. Padahal ia punya suara yang meski tak sehebat Mariah Carey tapi tetap sungguh enak didengar dan penghayatan luar biasa meski belum semeyakinkan Celine Dion.

Foto: Prime Video
Tapi di semesta cerita ini, karena kekurangan fisiknya, Juwita hanya bisa menjadi pemain di pinggir lapangan. Suaranya dipinjam oleh seorang penyanyi bernama menggelikan, Eva Primadonna. Berbeda 180 derajat dengan Juwita, Eva justru digambarkan nyaris seperti boneka Barbie tanpa jiwa.
Tapi Juwita tak ingin menjadi Juwita selamanya. Juwita yang selalu diremehkan, Juwita yang selalu tak terlihat, Juwita yang selalu tak bisa menggapai kesempatan yang bisa dicapai oleh mereka dengan penampilan fisik yang menarik. Juwita ingin berubah. Literal. Maka Juwita menemui dokter bedah plastik dan melakukan transformasi besar-besaran.
Juwita lantas berubah menjadi Angel. Kini ia menjelma sebagai seorang gadis cantik dan ramping. Menjadi mirip dengan boneka Barbie yang selalu digenggam ayahnya. Awalnya segala kemudahan diperolehnya hanya karena satu hal: kecantikannya. Tapi lama kelamaan ia kembali menyadari bahwa ia sesungguhnya tetap seorang Juwita yang memahami bahwa hidup tak selalu berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Tak serta merta dengan segala perubahan yang menyertainya maka semesta akan mengitari dirinya.
Premis menarik ini sesungguhnya punya potensi untuk dieksplorasi lebih jauh, melebihi dari versi aslinya yang dirilis pada 2006. Sayangnya memang skenario yang ditulis Upi seperti membatasi diri untuk berusaha terlalu setia dengan materi aslinya.
Lihat Juga :