CERMIN: tentang Roy yang Tak Punya Waktu Berduka
loading...

Film Balada Si Roy menceritakan kehidupan remaja SMA yang rumit setelah orang ayahnya meninggal. Foto/IDN Pictures
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1987. Saya masih duduk di kelas 3 SD dan Roy menghipnosis para remaja, khususnya remaja laki-laki, melalui novel karya Gol A Gong.
Roy adalah karakter utama dalam novel berjudul Balada Si Roy. Seorang anak muda yang penuh dengan kegelisahan, penuh dengan semangat pemberontakan, penuh dengan ambisi berapi-api yang membuatnya tak punya waktu untuk berduka.
Jujur saja, saya tak pernah sekali pun membaca Balada Si Roy. Saya lebih tertarik pada Lupus yang sekilas setipe dengan Roy tapi digambarkan lebih santai dan tak seambisius Roy. Begitu pun dengan penggambaran di atas, siapa yang tak terkesan dengan Roy?
Maka Fajar Nugros sebagai sutradara dan Salman Aristo sebagai penulis skenario membuat semesta film dengan berusaha setia pada novelnya. Saya yang beberapa tahun terakhir berkecimpung mendidik penulis-penulis skenario baru selalu mengulang-ulang kalimat berikut kepada mereka terkait perkara adaptasi: “Penulis skenario tak punya utang apa pun pada materi aslinya”.
![CERMIN: tentang Roy yang Tak Punya Waktu Berduka]()
Foto: IDN Pictures
Karena novel dan film adalah medium yang sama sekali berbeda dan keduanya tak bisa diperbandingkan. Karenanya intensi penulis skenario sesungguhnya adalah mengambil esensi yang diperlukan dari novel untuk membuat cerita yang mengalir, dengan karakter-karakter yang hadir dengan motivasi yang jelas, dengan adegan-adegan yang disusun untuk memperlihatkan bahwa karakter utama akan melakukan apa pun dengan melewati rintangan demi rintangan untuk mendapatkan hal yang diinginkannya.
Tapi film “Balada Si Roy” tak bekerja dengan pakem tradisional tiga babak itu. Skenario malah bekerja sebagaimana kinerja serial dalam layanan streaming. Balada Si Royterkesan disusun episode demi episode layaknya bab demi bab yang ditulis dalam novel.
Akhirnya saya yang baru ingin mengenal Roy malah tak beroleh kesempatan baik untuk menyelami yang dirasakan Roy dengan segala gejolak yang dihadapinya.
Baca Juga: CERMIN: Bisakah Kita Menonton Film Tanpa Pretensi, Teori, dan Referensi?
Tapi satu hal yang saya pahami: Roy adalah sosok remaja yang dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Ayahnya meninggal dunia saat ia sedang butuh-butuhnya figur yang bisa diteladaninya. Hidup terasa berjalan tergesa-gesa di sekeliling Roy.
Roy adalah karakter utama dalam novel berjudul Balada Si Roy. Seorang anak muda yang penuh dengan kegelisahan, penuh dengan semangat pemberontakan, penuh dengan ambisi berapi-api yang membuatnya tak punya waktu untuk berduka.
Jujur saja, saya tak pernah sekali pun membaca Balada Si Roy. Saya lebih tertarik pada Lupus yang sekilas setipe dengan Roy tapi digambarkan lebih santai dan tak seambisius Roy. Begitu pun dengan penggambaran di atas, siapa yang tak terkesan dengan Roy?
Maka Fajar Nugros sebagai sutradara dan Salman Aristo sebagai penulis skenario membuat semesta film dengan berusaha setia pada novelnya. Saya yang beberapa tahun terakhir berkecimpung mendidik penulis-penulis skenario baru selalu mengulang-ulang kalimat berikut kepada mereka terkait perkara adaptasi: “Penulis skenario tak punya utang apa pun pada materi aslinya”.

Foto: IDN Pictures
Karena novel dan film adalah medium yang sama sekali berbeda dan keduanya tak bisa diperbandingkan. Karenanya intensi penulis skenario sesungguhnya adalah mengambil esensi yang diperlukan dari novel untuk membuat cerita yang mengalir, dengan karakter-karakter yang hadir dengan motivasi yang jelas, dengan adegan-adegan yang disusun untuk memperlihatkan bahwa karakter utama akan melakukan apa pun dengan melewati rintangan demi rintangan untuk mendapatkan hal yang diinginkannya.
Tapi film “Balada Si Roy” tak bekerja dengan pakem tradisional tiga babak itu. Skenario malah bekerja sebagaimana kinerja serial dalam layanan streaming. Balada Si Royterkesan disusun episode demi episode layaknya bab demi bab yang ditulis dalam novel.
Akhirnya saya yang baru ingin mengenal Roy malah tak beroleh kesempatan baik untuk menyelami yang dirasakan Roy dengan segala gejolak yang dihadapinya.
Baca Juga: CERMIN: Bisakah Kita Menonton Film Tanpa Pretensi, Teori, dan Referensi?
Tapi satu hal yang saya pahami: Roy adalah sosok remaja yang dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Ayahnya meninggal dunia saat ia sedang butuh-butuhnya figur yang bisa diteladaninya. Hidup terasa berjalan tergesa-gesa di sekeliling Roy.
Lihat Juga :