Dominasi Belanda Masa Kolonial dari Kacamata Post-Kolonial

Senin, 23 Maret 2020 - 21:40 WIB
Dominasi Belanda Masa Kolonial dari Kacamata Post-Kolonial
Dominasi Belanda Masa Kolonial dari Kacamata Post-Kolonial
A A A
Selama mengeruk kekayaan bumi Indonesia, Belanda menjalankan politik etis yang memusatkan pada tiga sektor, salah satunya edukasi untuk rakyat Indonesia. Tapi apakah betul begitu?

“Dalam buku ini, saya menegaskan secara bersamaan, bahwa tidak ada satupun istilah dari “Timur” ataupun Konsep “Barat” yang memiliki stabilitas ontologis; keduanya sama-sama dibuat oleh manusia, sebagian dengan mengafirmasi sebagian lagi dengan mengidentifikasi keberadaan the Other.” Edward Said – Orientalisme.

Banyak orang bilang Indonesia terjajah oleh Belanda selama 350 tahun sejak Cornelis de Houtman mulai menginjakkan kakinya di pelabuhan Banten. Berlabuhnya Houtman mengawali kedatangan koloni-koloni Belanda lain di Indonesia, dan yang terparah semenjak adanya VOC.

Peristiwa dan narasi yang terjadi di Indonesia saat itu terkurung, sekalinya keluar menggemparkan parlemen Belanda. Kemudian muncullah ide dari seorang Belanda bernama Theodor van Deventer yang merasa malu pada negaranya sebab telah mengeksploitasi kekayaan Indonesia tanpa memikirkan kesejahteraannya.

Dari sinilah keluar kebijakan politik etis pada 1901 sebagai sebuah “balas budi” Belanda terhadap Indonesia. Politik etis diwujudkan melalui tiga sektor, yaitu edukasi, irigasi dan transmigrasi. Salah satu yang menarik diperbincangkan adalah sektor edukasi.

Situasi parlemen Belanda sedang menghadapi narasi serius terkait politik etis. Di sisi lain, pemerintah Hindia Belanda sedang mengalami surplus tulisan liar di masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda khawatir bacaan liar tersebut menstimulus pergerakan masyarakat pribumi.

Sebabnya, dilansir dari situs web resmi Kemdikbud, pada 14 September 1908 didirikanlah sebuah lembaga yang bernama Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) atau yang kini dikenal sebagai Balai Pustaka.

Pendirian komisi ini selain sebagai balas budi Belanda dalam bidang pendidikan, juga dimaksudkan untuk mengontrol peredaran dan membendung pengaruh bacaan liar di masyarakat.

Dominasi Belanda Masa Kolonial dari Kacamata Post-Kolonial

Foto: Indonesiaimages.net

Namun, apakah kebijakan politik etis itu selamanya berdampak baik bagi Indonesia? Atau dalam penyuntingannya Balai Pustaka semata-mata bekerja atas nama Indonesia?

Kedua pertanyaan ini akan dibedah melalui kerangka teori Post-kolonialisme Edward Said yaitu Orientalisme (Orientalism). Menurut Said dalam bukunya yang berjudul "Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek" (2016:2), orientalisme adalah sebuah cara pandang bangsa Barat dalam melihat dunia Timur, tidak lebih sebagai Kawasan Timur Jauh, maka orang-orang Prancis, Inggris, dan Kawasan Eropa lainnya memandang dunia Timur berdasarkan suatu tradisi yang mereka yakini selama ini.

Bagi orang Eropa, Timur tidak hanya berseberangan dari sisi geografis, tetapi mereka juga selalu menganggap Timur sebagai daerah jajahan. Timur adalah yang lain (the others) bagi Eropa. Seperti Belanda menganggap Indonesia sebagai the others dari dirinya.

Sebagai sebuah institusi penebitan dan penyuntingan buku, Komisi Bacaan Rakyat (KBR) dihadiahi tugas memberikan rekomendasi pada Direktur Pendidikan Hindia Belanda dalam memilih bacaan untuk rakyat.

Keseluruhan dari petinggi lembaga ini adalah orang Belanda. Mereka semua menyelam, menjelajahi pikiran rakyat Indonesia, berbuat role play seakan jadi rakyat Indonesia, dan melihat untuk Indonesia berdasarkan sudut pandang mereka sebagai bangsa Eropa.

Dilansir dari artikel Tirto.id berjudul "Belanda Butuh Alat Propaganda, Lahirlah Balai Pustaka" (2018), komisi ini menentukan beberapa kriteria buku yang dianggap baik untuk rakyat, yaitu pelajaran keterampilan, pertanian dan ilmu alam, juga budi pekerti yang bersifat sekuler.

Lewat apa mereka mengetahui bacaan yang terbaik bagi rakyat Indonesia? Berdasarkan apa justifikasi pandangan baik mereka? Apakah benar yang mereka anggap baik sepenuhnya baik bagi rakyat Indonesia? Pandangan ‘sok tau’ dari petinggi KBR inilah yang menurut Edward Said dianggap sebagai "orientalisme".

Intervensi Orientalis (Belanda) pada Indonesia terjadi bukan hanya melalui pemilihan buku yang dianggap layak, tetapi lebih dari itu. Sesuai dengan tujuannya, KBR didirikan untuk melakukan kontrol terhadap bacaan liar yang beredar di masyarakat.

Dalam artikelnya yang berjudul "Orientalisme, Perbudakan dan Resistensi Pribumi terhadap Kolonial dalam Novel-Novel Terbitan Balai Pustaka", penulis I Nyoman Yasa (2013) menyebutkan dampak dari tujuan tersebut, semua bacaan yang diterbitkan ada dalam pengawasan dan sensor KBR.

Belanda menggunakan karya sastra sebagai bentuk hegemoni dan dominasi kepada rakyat pribumi. Novel-novel yang diterbitkan oleh sastrawan harus sesuai dengan standar Balai Pustaka, salah satunya tidak bertentangan dengan garis politik pemerintah Hindia Belanda. Sensor yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda membuat sebuah pencitraan diri, orientalisme, dan menempatkan pribumi sebagai budak.

Dominasi Belanda Masa Kolonial dari Kacamata Post-Kolonial

Foto: Balai Pustaka/goodreads.com

Sebuah contoh nyata terjadinya orientalisme di Indonesia adalah pada novel "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli. Pada diskusi yang diadakan oleh Yayasan Lontar dan Galeri Indonesia Kaya (8/4/2019), Sapardi Djoko Darmono menyebutkan bahwa pengarang menggunakan model penokohan hitam-putih.

Kemudian ia menceritakan tokoh protagonis Syamsul Bahri yang menarik secara fisik dengan cara berpakaian dan pemikiran sebagai seorang Belanda. Sedangkan tokoh antagonis yaitu Datuk Maringgih digambarkan jelek secara fisik dan jahat secara moral.

Syamsul Bahri yang digambarkan serba sempurna sebab berpendidikan Belanda disimbolkan sebagai pahlawan sebab mampu melakukan segala hal, terlebih ketika bisa membunuh Datuk Maringgih.

Di lain sisi, Datuk Maringgih yang mampu membangkitkan semangat perlawanan orang daerahnya untuk melawan pemerintah kolonial dianggap hal negatif. Terlepas dari karya sastra, novel tersebut merupakan propaganda kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia dan instrumen yang bagus untuk para Orientalis.

Di manapun letak koloninya, bangsa Barat selalu melihat bangsa Timur dalam kacamata mereka (orientalisme). Bangsa Timur termasuk Indonesia sering dicitrakan buruk dibandingkan bangsa Barat.

Hal ini bukan tidak beralasan, untuk dominasi dan hegemoni pembentukan citra superior melawan inferior penting untuk dilakukan dalam langkah melangengkan kekuasaan. Belanda sebagai salah satu representasi bangsa Barat telah memandang bangsa Indonesia menurut standar mereka dan melakukan interpretasi sendiri terhadap peristiwa.

Orientalisme digunakan oleh Belanda untuk melanggengkan penjajahan di Indonesia selama ratusan tahun dan sukses membuat rakyat Indonesia kini memandang bangsa Barat sebagai bangsa yang superior. Walaupun hegemoni Belanda terhadap Indonesia tidak sebesar dulu, tetapi dampak penjajahan masih terasa hingga masa kini.

Anugerah Pagiyan Nurfajar
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @tutup_botol15
(her)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6950 seconds (0.1#10.140)