Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan

Sabtu, 21 Maret 2020 - 11:00 WIB
Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan
Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan
A A A
Jauh sebelum masuk ke dunia kerja, privilese kecantikan bahkan udah melekat pada diri seseorang bahkan saat dia masih bayi.

Penelitian Langlois dkk. pada 1995 berjudul "Infant Attractiveness Predicts Maternal Behaviors and Attitudes" menunjukkan bahwa bayi yang tampilannya lucu dan bikin gemas mendapat lebih banyak ungkapan kasih sayang dari para orang dewasa, termasuk orang tuanya, dibanding bayi yang tampilannya biasa aja.

Masuk usia kanak-kanak dan remaja, privilese kecantikan makin kentara. Di instansi formal seperti sekolah, mereka yang penampilannya menarik akan mendapat banyak keuntungan.

Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan

Foto: Jopwell/Pexels.com

Guru-guru di sekolah punya ekspektasi yang lebih tinggi pada murid-murid yang berpenampilan menarik (cantik atau tampan) ketimbang mereka yang penampilannya gak menarik.

Hal ini merujuk pada penelitian Ritts dkk. tahun 1992 berjudul "Expectations, Impressions, and Judgments of Physically Attractive Students: A Reviewā€¯.

Bahkan, murid yang punya penampilan menarik cenderung mendapat nilai yang lebih tinggi dan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan gelar di universitas dibanding mereka yang penampilan fisiknya dinilai biasa aja.

Hal ini mengacu pada penelitian Rachel A. Gordon dkk. yang berjudul "Physical Attractiveness and the Accumulation of Social and Human Capital in Adolescence and Young Adulthood Assets and Distractions" tahun 2013.

Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan

Foto:Mimi Thian/unsplash.com

Privilese kecantikan makin dilanggengkan dengan konten-konten media massa yang membentuk gambaran fisik tertentu sebagai standar kecantikan. Terutama pada sosok perempuan, yang disebut cantik sempurna hanya kalau badannya tinggi kurus, rambut panjang, dan warna kulitnya cerah.

Penelitian The Dove Global Beauty and Confidence Report tahun 2016 yang dilakukan terhadap 10.500 perempuan di 13 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa 69% perempuan dewasa dan 65% anak perempuan merasa harus menjadi cantik karena berbagai iklan dan konten media yang mengkonstruksikan standar kecantikan yang gak realistis. Hal ini bahkan bikin banyak perempuan memiliki kecemasan penampilan (appearance anxiety).

Privilese kecantikan adalah hal yang sangat abstrak, tapi gak bisa dimungkiri keberadaannya. Beda dengan privilese-privilese lainnya kayak privilese kelas, ras, gender, sampai seksualitas, penampilan gak punya standar yang bisa diukur dengan jelas.

Keberadaan standar kecantikan jadi bukti betapa besarnya pengaruh media dan penguasa, dan berakhir pada pengkotak-kotakkan manusia dan menciptakan masyarakat yang berstrata.

Privilese Kecantikan: Dimulai dari Bayi, Berujung Pada Kecemasan

Foto: Freepik

Padahal, kecantikan dan ketampanan bukanlah satu-satunya daya tarik manusia. Tapi pola pikir yang dangkal membuat manusia kadang hanya menilai penampilan sebagai bahan pertimbangan utama.

Gara-gara tekanan untuk kelihatan cantik dan menarik, hal ini secara langsung memengaruhi kesehatan psikologis seseorang. Apalagi kalau hal tersebut terjadi secara terus-menerus, akhirnya bakal menimbulkan trauma.

Seseorang bisa kehilangan kepercayaan dirinya, bahkan bisa membenci diri sendiri. Di sinilah pola asuh keluarga punya peran penting untuk membentuk persepsi seseorang akan penampilan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Keluarga bisa menekankan aspek diri lain yang juga penting, atau bahkan lebih penting dari penampilan semata, misalnya kecerdasan, kebaikan hati, dan kekuatan niat.

GenSINDO
Selma Kirana Haryadi
Universitas Padjadjaran
(her)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4345 seconds (0.1#10.140)