UIN Jakarta Ngobrol Bareng Seniman: Apa Iya Sastra dan Agama Harus Dipisah?

Selasa, 10 Desember 2019 - 10:52 WIB
UIN Jakarta Ngobrol Bareng Seniman: Apa Iya Sastra dan Agama Harus Dipisah?
UIN Jakarta Ngobrol Bareng Seniman: Apa Iya Sastra dan Agama Harus Dipisah?
A A A
Sebagian orang menganggap sastra dan agama adalah dua dunia yang berbeda. Tapi gimana menurut seniman tentang hal ini?

Agama seringkali diartikan sebagai sesuatu yang punya batasan yang mengikat. Sementara sastra kebalikannya, yaitu bersifat lentur dan tidak terikat. Pertanyaannya, apakah duahal yang kelihatannya bertolak belakang ini bisa disatukan?

Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (HMJ BSA) UIN Syarif Hidayatullah mengadakan seminar kesusastraan bertajuk “Sastra dan Agama dalam Keterpengaruhan”.

Sebagai pembicaranya, ada dua satrawan kondang Acep Zamzam Noor dan Seno Gumira Ajidarma. Seminar diadakan sebagai pembuka dari kegiatan Festival Arab Nusantara (FAN) pada Senin (9/12).

Menurut Acep, sastra dengan agama adalah hal yang gak terpisahkan. Apalagi kalau dilihat dari sisi sejarah. Justru sastra jadi salah satu alat untuk menyebarkan agama, khususnya di Nusantara melalui para wali.

“Pada zaman dulu kala, mengajarkan agama kepada anak-anak itu bukan Quran dan Hadits dulu. Bukan ayat-ayat dulu. Bukan hukum-hukum salah dan benar dulu. Tapi bagaimana anak-anak itu bergembira. Ajaran diciptakan dengan sebuah tembang (pujian) dan dinyanyikan oleh anak-anak. Sastra berkembang dengan sukma anak-anak. Sehingga, wajah Islam yang dirasakan adalah wajah kegembiraan,” kata Acep.

Menurutnya juga, dalam agama apapun itu, penyampaian ajarannya tidak lepas dari untaian sastra. Banyak sastrawan yang membuat karyanya dengan menggali nilai-nilai ketuhanan atau dalam islam dikenal dengan istilah 'tasawuf'.

Sementara menurut Seno, setiap bidang memiliki wacananya masing-masing. Ia berpendapat bahwa agama adalah produk kebudayaan. Kebudayaan ada lebih dulu dibanding agama. Dalam proses berbudaya, lahirlah agama yang melawan kelompok dominan.

Masih kata Seno, dalam beberapa konteks, sastra punya cara luar biasa untuk menggambarkan kebebasan pemikiran yang melawan wacana-wacana dominan yang begitu kaku dan beku, sampai-sampai manusia tidak lagi kelihatan manusiawi.

Sayangnya, wacana ini gak menonjol di tengah masyarakat kita. Yang ada, sastra malah dianggap sebagai hal yang non-agama, jadi gakperlu dibicarakan.

Maka dari itu menurut Seno, ada tiga mitos sastra yang harus dihancurkan. Pertama, sastra itu curhat. Mentalitas ini yang bikin orang mengganggap sastra bukan bagian dari dirinya.

Yang kedua, pembahasannya mendayu-dayu. Terakhir, mitos bahwa sastra itu isinya selalu pedoman hidup.

“Pemahaman keliru ini membuat masyarakat akan risih jika hanya melihat kumpulan nasihat terus-menerus. Sastra itu liar! Di luar mainstream, di luar dogma. Merdeka dia (sastra)! Dengan catatan, hanya yang mampu bertanggung jawab yang berhak untuk merdeka,” katanya.

Finka Fahryah
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah
Instagram: @finkafahryah
(her)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5519 seconds (0.1#10.140)